Jujur lah ya, saya amati hoki saya dengan uang itu kerap tinggi. Saya kalau jualan kerap peroleh harga tinggi, namun kalau beli kerap dapat harga murah.
Jualan barang, tidak niat ingin jual mahal, eeh dibayar mahal sama orang. Kalau sedang beli, tidak ada niatan saya dapat harga murah, eeh dapatnya harga murah. Urusan-urusan pembayaran juga kerap dipermudah tanpa sengaja. Saya amati asik banget uang itu bersinergi dengan hati saya.
Nah di sini saya mau cerita resepnya punya hoki begitu.
Cerita ini hanya salah satu kejadian saja, yang mungkin Anda bisa ambil subtansinya untuk mengembangkan hoki Anda pada uang.
Di bulan ini saya punya pengalaman menarik biayai wi-fi. Kalau lihat kebutuhan, speed 20 Mbps sudah cukupi kebutuhan online keluarga saya karena cuma dipakai 3 orang. Dulu saya naikkan speed wi-fi rumah sampai 50 Mbps karena masalah lemot ketika live online atau pun video call termasuk untuk Zoom Meeting dan berbagai kebutuhan kelas online. Bahkan ada beberapa live streaming saya yang gagal karena lelet.
Awalnya saya sudah coba ganti smartphone dengan tidak menggunakan smartphone di bawah RAM 8 GB, tujuannya RAM besar jadi prosesor lebih cepat. Smartphone anak istri juga diganti semua, minimal RAM 8 GB.
Diamati tetap masih lelet. Dan akhirnya speed wi-fi dinaikkan 50 Mbps.
Hasilnya? Tetap lelet. Bahkan handphone saya yang Samsung Note 20 Ultra paling bermasalah, kalah sama smartphone anak istri yang pakai merk China-an.
Di situ saya makin sadar kalau uang tidak selamanya bisa selesaikan semua masalah, uang tidak selamanya bisa cukupi kenyamanan kita. Ya uang selamanya tidak bisa selesaikan masalah kita namun lebih bermasalah lagi jika tidak ada uang.
Nah saat tetap lemot jaringan wi-finya, saya bilang pada istri, “Wah IndiHome di sini belum layak dihargai mahal, belum layak dibeli sampai 50 Mbps. Bunda, turunkan speednya ke 20 Mbps lagi,” perintah saya pada istri.
Tapi istri tidak segera merespons turunkan speed wifi, ia tetap merasa nyaman karena smartphone China miliknya lemotnya tidak separah Samsung saya.
Hingga 1 bulan kemudian, e-banking saya sedang error, tidak bisa bayar wi-fi pakai e-banking, istri pun bayar wi-fi di Alfamart. Dia kaget dengan tarifnya, naik drastis. Sampai rumah, istri dengan antusias setujui usulan saya turunkan speed wi-fi.
Di situ saya nyeletuk, “Gak jadi turunkan speed wi-fi. Kemarin saat alasan saya karena kualitas layanan IndiHome belum sepadan dengan harga yang kita bayar, Bunda anteng-anteng saja responsnya, sekarang giliran rasakan tarifnya naik, Bunda dengan antusias turunkan speed. Gak jadi turun!” tegas saya.
Kenapa ketika istri merasakan berat dengan kenaikan tarif wi-fi justru saya batalkan untuk turun speed? Karena kalau alasannya “rasakan berat” dengan tarif, itu artinya alasan mundurnya karena kita kalah mental pada uang. Beda kalau alasannya tidak puas dengan layanan wi-finya, itu bukan soal kalah mental, namun soal lain yang lebih bermartabat.
Rembulan saja nurut terbelah ketika diperintah terbelah oleh Nabi S.A.W. Laut Merah juga nurut terbelah jadi daratan kepada Musa A.S. Wedhus gembel (awan panas) gunung Merapi nurut diperintah oleh Mbah Maridjan untuk masuk lagi ke kawah Merapi dan urungkan diri untuk meletus. Itu semua artinya alam semesta ini diciptakan merunduk pada kehendak perasaan kita.
Harimau buas, ular beracun ganas, ketinggian awan, kedalaman lautan, semua yang ada di alam semesta ini punya fitrah tunduk pada manusia. Harimau buas dan ular ganas jadi jinak pada kepiawaian pawang. Ketinggian awan dan kedalaman lautan, semua tunduk pada tehnologi buatan akal manusia. Bahkan tanpa tehnologi dan skill khusus pun, spiritual manusia kerap mampu tundukkan alam semesta, seperti Nabi Khidir A.S yang konon hidup di dalam air dengan kualitas spiritualnya, dan Nabi Isa A.S yang hidup di langit dengan kualitas spiritualnya.
Iya kan, alam semesta punya bawaan fitrah tunduk kepada Anda? Apalagi rezeki.
Kenapa kita hanya memerintah kepada rezeki agar lancar dan jangan ruwet, kok rezekinya tidak nurut? Rezeki tetap “mbalelo” bikin masalah?
Sebenarnya hal itu karena kita kerap pasang mental di bawah uang. Contohnya seperti kejadian istri saya turunkan speed wi-fi di atas.
Nah kalau Anda berhadapan dengan uang, lalu mental Anda kerap “turun mental” pada uang, ya selamanya Anda jadi obyek bualan uang.
Nah kalau Anda kerap efesienkan uang dengan alasan-alasan “beban finansial berat” ini yang jadikan uang enggan untuk Anda kendalikan. Anda yang mentalnya kerap gerogi hadapi situasi finansial, lalu pilih mundur dari beban berat tersebut itu Anda yang terbaca oleh uang sebagai mental kerupuk uang. Di situ Anda akan terus dikerjai uang, uang jadi enggan nurut dan tunduk kepada Anda. Di mata uang Anda tidak punya martabat.
Sama saja Anda seorang guru yang terbaca polos dan kalahan mentalnya, justru di situ Anda akan disepelekan oleh murid-murid Anda, beda dengan Anda yang terbaca sebagai guru killer, para murid mau menguap di kelas saja punya rasa segan.
Karena itu jangan pernah mundur dari tanggungan finansial dengan alasan “beban finansial”, boleh mundur atau turunkan beban tapi harus dengan alasan selain alasan “beban berat finansial”. Seperti saya, mau mundur dari speed wi-fi 50 Mbps karena alasan “layanan IndiHome di daerah saya yang belum layak dihargai 50 Mbps, tapi ketika istri mendukung penurunan speed tapi karena alasan tarifnya naik dan terasa berat, justru saya batalkan sekalian niat turunkan speed. Saya biarkan di speed 50 Mbps untuk memberi training mental pada istri. Gampang kalau nanti mental istri sudah rasakan enteng-enteng saja bayar 50 Mbps, mungkin baru akan saya turunkan.
Tidak apa-apa turunkan beban finansial tapi hindari karena alasan-alasan beban finansial agar diri Anda bermartabat di depan uang, tidak nyampah di hadapan uang. Kalau alasan-alasannya seperti alasan pendidikan, misal kasih uang pesangon sekolah anak diturunkan agar anak tidak manja, atau alasan spiritual seperti Anda irit jajan agar bisa banyak sedekah, dan lain-lain, alasan-alasan seperti itu tidak masalah, sebab alam semesta ini mengeksekusi getaran niat Anda, artinya kesadaran Anda di mana, di situ alam semesta berikan respons nyata.
Nah kenapa hoki rezeki saya kerap tinggi? Jawabnya di sini, saya kerap jaga martabat saya di depan uang, saya tidak cengeng “turunkan beban finansial” hanya karena alasan “biaya terasa berat”.
Dengan menjaga diri dari mental kerupuk uang, di situ uang akan menaruh segan dan hormat kepada Anda, dan Anda pun akan diperlakukan sebagai tuan oleh uang.
Karena kedudukan Anda adalah tuan atas uang, ketika hati Anda menginginkan beruntung, Anda dilayani oleh uang, ingin rezeki lancar, uang akan nurut datang dengan lancar, saat Anda butuh, uang akan datang.
Sebaliknya Anda yang mudah melempem digertak situasi berat finansial, ya di situ Anda dianggap sampah oleh uang, efeknya hati Anda menyuruh agar rezeki lancar malah seret sekalian, jualan barang ingin laris-manis malah tidak laku sekalian, giliran Anda membeli sudah dapat harga mahal, kualitass barangnya jelek lagi.
Muhammad Nurul Banan
Gus Banan