Prabowo Subianto cuma pakai Toyota Alphard. Mungkin Alphard jadi kendaraan mewah bagi Anda yang cuma jutawan, namun bagi seorang trilyuner seperti beliau itu kendaraan ecek-ecek.
Bagi Prabowo, Alphard tidak berarti karena kebesaran beliau sebagai negarawan dan pengusaha sudah menghebat. Nilai diri Prabowo sudah di atas Alphard, sehingga pakai mobil sederhana tidak pengaruh apapun untuk simbol martabatnya. Nilai Alphard sudah terlewati.
Coba bagi kita yang hanya punya uang ratusan juta, Alphard menjadi simbol prestige, simbol martabat dan kehormatan. Tidak pakai Alphard, tidak gagah.
Itu artinya kalau Anda ingin mudah “melepaskan” dunia maka capailah salah satu urusan dunia ini sebesar-besarnya, karena makin besar nilai yang Anda capai, maka kemampuan Anda untuk melepaskan dunia juga makin besar.
Muhammad SAW sukses menjadi nabi, lalu beliau memilih hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan harta, ya tidak pengaruh apa-apa karena marwah kenabian beliau yang hebat.
Coba Anda hidup dalam keterbatasan harta, apa kira-kira Anda tidak diinjak-injak orang?
Sama saja KH Mustofa Bisri, apa rumah beliau mewah? Tidak. Apalagi rumah elit, bahkan cenderung biasa-biasa saja.
Namun begitu, apa dengan rumah sederhananya, lantas beliau disebut kurang mampu? Tidak. Itu karena nilai diri KH Mustofa Bisri sebagai ulama sudah melampoi harta.
Karena itu untuk zuhud ternyata harus ada duniawi yang Anda harus menggengamnya kuat.
Prabowo mampu melepaskan diri dari mobil mewah tapi untuk mencapai itu beliau gigih dan kuat menggengam dunia politik dan bisnis.
Nabi Muhammad SAW mampu melepaskan kekayaan harta, namun beliau gigih dan kuat memegang risalah kenabian.
Gus Mus mampu melepaskan rumah mewah namun beliau gigih dan kuat menggengam kebesaran ilmu sehingga beliau menjadi ulama tersohor.
Mau zuhud? Ya begitu jalannya, harus ada yang digenggam kuat-kuat, ibaratnya pegang kambing “culna ndase, cekeli buntute,” artinya kepalanya dilepaskan, tapi ekornya pegangi.
Mau zuhud kok cuma modal ikhlasan ya cuma dapat sakit hati. Coba andai ilmu oleh Anda tidak diperjuangkan, nerima jadi orang bodoh, harta tidak diperjuangkan, nerima jadi orang kekurangan, cinta alami patah hati, nerima disia-siakan, jabatan ditinggalkan, nerima tidak punya kehormatan, lah kalau begitu apa bedanya dengan sampah?
Ternyata zuhud tidak hanya konsep melepaskan dengan rela, tetapi juga konsep menggenggam kuat.
Gambaran kecilnya begini, saya untuk ceramah pengajian kadang ada yang mengundang kadang tidak.
Pas rekan ustadz lain laris undangan ngajinya, lalu saya tidak laku, itu rawan sekali sakit hari karena iri, saat begitu saya menyadari diri,
“Halah cuma ngaji di lingkungan kecamatan, saya malah sudah keliling training hampir dari Sabang sampai Merauke.”
Coba kalau tidak punya peraihan duniawi yang lebih besar, kan cuma peroleh sakit hati?
Ibaratnya melatih zuhud itu latihan punya uang satu juta agar enteng melepaskan seratus ribu.
Loh Al-Hallaj dan Budha Gautama hidup sangat asketik, meninggalkan semua urusan duniawi, kok beliau berdua tidak jadi sampah?
Lah beliau berdua berjuang konsisten menggenggam disiplin pertapaan, juga begitu kuat mengejar ilmu dan hikmah sehingga beliau berdua muncul sebagai pencerah rohani.
Bertapa, mengejar ilmu dan hikmah, itu urusan duniawi, bukan? Dikerjakan di dunia, bagaimana bukan urusan dunia?
Muhammad Nurul Banan
Gus Banan
Spiritual Prosperity Class