SYUKUR ITU KUALITAS MENYOMBONGI UANG

Salah satu efek tulisan saya, “Puaslah pada Harga Mahalnya bukan Kualitasnya,” itu saya dipameri mobil Mercy GLA 200 yang baru dibeli. Mobilnya baru datang di alamat, langsung dipamer-pamerin ke saya.

 

Si pemilik mobil mengabari juga rencana syukurannya. Rencana acaranya bareng-bareng baca Al-Barzanjî dan pengajian, karena disamping syukuran Mercy GLA 200 sekaligus Ihtifâl bil Maulidin Nabî (perayaan kelahiran Nabi S.A.W).

 

Saat mahallul qiyâm (bacaan Asyaqal Badru ‘Alainâ) dalam bacaan Al-Barzanjî, beliau mau bagi-bagi uang kepada para pengunjung, nilainya capai puluhan juta.

 

Beliau bilang via chatt WA, “Saat Asyaqal Badru mau bagi-bagi duit, syukuran Mercy, saya mau sombongi duit.”

 

Saya tertegun baca chatt itu, “Sombongi duit.”

 

Lalu saya berpikir sejanak, terus saya balas, “Iya juga ya, berani syukur artinya menyombongi uang”.

 

Kepada uang bersikap sombong, bersikap besar diri, itu memang ajaran saya.

 

Saya kerap ajarkan kepada Anda kalau uang itu makhluk yang derajatnya jauh di bawah derajat Anda. Anda makhluk al-akram (termulia), tidak ada lagi derajat makhluk yang mengungguli derajat Anda.

 

Anda sebagai orang tua berhak saja untuk menyombongi anak-anak Anda. Misal ada anak menyuruh-nyuruh Anda cucikan piring, Anda berhak bersikap besar diri, “Kualat kamu! Saya ini orang tuamu, disuruh cucikan piring! Kualat!”

 

Etis dan proporsional ketika Anda bersikap sombong kepada anak karena memang kedudukan orang tua jauh lebih tinggi ketimbang anak.

 

Yang tidak etis dan proposional itu sombong kepada sesama manusia.

 

Uang begitu, kedudukan Anda harusnya mampu menyombongkan diri pada uang.

 

Saya adalah pribadi yang rezekinya berubah setelah menerapkan mental sombong dan besar diri kepada uang.

 

Dari kecil mental saya itu miskin sekali. Tidak pernah punya rasa besar diri kepada uang, sebaliknya selalu berkecil hati pada uang.

 

Keberanian belanja tidak ada, selalu cari efesien dan takut dengan harga tinggi. Ya karena merasa uang saya sangat terbatas sehingga tidak pernah berani neko-neko belanja, segalanya seefesien mungkin. Dulu saya pelit dan irit banget tidak, cuma tidak punya standar tinggi untuk belanjakan uang.

 

Senang terima uluran tangan, selalu merasa layak diberi dan layak dibelaskasihani dengan uang.

 

Kalau kebagian harus mentraktir orang lain, rasa yang muncul itu ngitung dan tersinggung. Kalau beli sesuatu ya pakai standar belanjanya orang miskin, umpama beli tabung gas ya pilih yang warna hijau bersubsidi.

 

Pokoknya saya di masa lalu itu kategori orang kalem tapi pada standar uang, tidak punya standar gagah dan berani pada uang.

 

Sekitar usia 34 tahunan, baru saya tersadar, saya mulai mengubah diri dengan “gemagus” pada uang. Masuk warung, dengan berani saya yang bayar. Saya besarkan diri saya kepada uang.

 

Saya ubah prasangka saya kepada uang. Yang tadinya saya menganggap uang itu terbatas, saya coba yakinkan diri kalau uang itu melimpah. Efeknya saya jadi punya nyali pada uang. Berani ngebos, puas kalau mentraktir orang, puas kalau belanja banyak, puas kalau sedekah banyak, puas bayarin orang, dan seterusnya. Saya jadi punya target tinggi dalam belanja dan memberi.

 

Banyak upaya saya lakukan untuk merasa kaya, dari tidak pernah lagi isi bensin motor pakai Pertalite, tidak mau lagi pakai listrik 1200 watt, tidak mau lagi rokok standar buruh. Menu makan ditingkatkan, warung makan yang dimasuki ditingkatkan, fasion baju ditingkatkan, semua gaya hidup saya tingkatkan bertahap.

 

Namun semua tindakan saya itu dipicu “rasa kaya” yang kuat, bukan dipicu rasa glamour, hura-hura, sok kaya, itu bukan. Benar-benar dipicu rasa kaya yang kuat.

 

Rasa puas kalau diberi dan dibelaskasihani jadi hilang, berganti rasa tersinggung. Perasaan saya jadi selalu muncul rasa gagah di depan uang. Hati saya jadi dipenuhi rasa kaya. Betul-betul sejak saat itu saya selalu merasa besar di depan uang. Sombong saya kepada uang benar-benar terbangun.

 

Dan sejak itu pula, tetangga dan famili-famili saya mulai menyebut saya orang kaya yang rezekinya sangat dimudahkan. Dan alhamdulillah dari waktu ke waktu rezeki saya terus meningkat bertahap.

 

Maka ini kalau ada orang kalem-kalem saja emosinya pada uang, tidak punya aksi “gemagus” pada uang, itu artinya peluangnya untuk berezeki baik masih perlu menunggu lama. Apapun butuh mental berani, mau naik podium butuh mental speaking, mau kaya pun butuh mental kaya yang kokoh.

 

Mental kaya yang kokoh itu artinya mental sombong kepada uang.

 

Seperti teman saya di atas, dikuntit Mercy GLA 200, dengan gagah berani keluarkan puluhan juta untuk berbagi. Gagah berani berbagi puluhan juta itu artinya sikap membusungkan dada kepada uang. Dan itu namanya sombong diri pada uang, dan itulah orang yang bersyukur dikaruniai Mercy GLA 200.

 

Muhammad Nurul Banan

Gus Banan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top