Kemarin saya bertemu pengrajin dan pengusaha plafon Gypsum. Dia cerita prinsip bisnisnya, “Saya ini, Gus, bisnis Gypsum tidak seperti umumnya pengusaha Gypsum. Umumnya pengusaha Gypsum pakai sistem borongan dan mereka juga kerap menumpang harga eceran bahan Gypsumnya. Kalau saya, para pembeli saya suruh ganti harga bahan Gypsumnya, saya kasih nota asli dari toko bangunan, lalu saya suruh bayar kerja harian saja, jadi lebih murah.”
Dengar cerita prinsip bisnisnya, saya tilik kendaraannya, masih pakai motor roda dua, “Bukan orang kaya, cenderung masih kekurangan finansial,” saya membatin.
Minggu lalu mobil Xenia saya masuk bengkel karena baret-baret dan sedikit penyok, diserempetkan salah satu santri. Kebetulan saya ada saudara pedagang mobil scond, dan dia minta menanganinya untuk dibawa ke bengkel langganannya.
Setelah selesai saya kaget dengan nota pembayarannya. “Murah banget! Jauh beda dengan bengkel umum,” sambat saya.
Lalu saya bilang ke saudara saya, “Mas, kehidupan finansial si pemilik bengkel pasti cenderung biasa-biasa saja. Iya, kan? Tidak kaya?”
“Iya betul. Biasa-biasa saja,” terangnya. “Saya ada langganan bengkel satu lagi, harganya normal saja, dia cenderung tegas dengan tarif harga, dan betul loh dia kaya,” lanjutnya.
Anda renungi! Orang buka usaha itu spiritnya untuk cari cuan bagi dirinya sendiri, makanya mental pedagang itu harus kreatif cari untung, bukan kreatif belaskasihani orang lain.
Pengusaha Gypsum dan pemilik bengkel mobil di atas itu dagang tapi kreatifnya bagaimana menolong orang lain sehingga meleset dari spirit dagang yakni mencari untung untuk kebaikan rezekinya, hasilnya mereka susah punya duit.
Lah iya, dagang jasa dan material Gypsum dan usaha bengkel mobil kok kreatifnya bagaimana pembeli dapat harga semurah mungkin, kan meleset dari spirit dagang itu sendiri. Spirit dagang itu dapat cuan, ya harus kreatif bagaimana peroleh cuan.
Anda bayangkan! Kalau Anda membangun masjid yang bertujuan sosial ibadah, lalu Anda bisniskan masjidnya. Wudhu bayar, parkir bayar, shalat bayar, ikuti pengajian bayar, ya yang timbul fitnah karena keluar dari spirit amal sosial berdirinya masjid.
Demikian pula dagang, spiritnya untuk cari cuan, lah kok diarahkan pada spirit amal sosial, ya bubar dagangnya. Dagang begitu ya cuma dapat capek sementara duitnya tidak ada.
Salah satu grosiran saya kulak untuk toko kelontong saya ada yang harganya murah sekali. Betul, lumayan laris, pelayanannya juga sama seperti grosiran lainnya, hasilnya si pengusaha grosiran tersebut sakit-sakitan, bolak-balik masuk rumah sakit, karena kerja maksimal melayani pembeli yang keasikan dapatkan harga murah, sementara secapek itu dia tidak dapat duit. Hasilnya usaha lambat berkembang, cuan kecil, duit tidak ada, badan capek, dan berakhir keluar-masuk rumah sakit.
Dikira jualan dengan harga murah itu jadikan laris? Tidak. Tidak. Tidak.
Saya pernah ada peserta workshop yang keluhkan begini, “Gus, saya dagang mainan anak dengan harga paling murah. Lah kok malah tidak laku. Saingan saya yang lebih mahal malahan laris, ini bagaimana, Gus?”
“Kalau Anda jadi pembalap motor, lalu mental Anda ngalahan dalam pertandingan, apa ada orang simpatik dan segan kepada Anda?” Tanya saya.
“Enggak, Gus,” jawabnya.
“Ilusinya dagang dengan harga murah itu akan laris, tapi justru itu keluar dari spirit dagang, tidak ada menariknya bagi dunia jual beli. Kalau jadi pembalap motor tapi spiritnya ngalahan di pertandingan itu tidak ada menariknya bagi dunia balap, maka prinsip murahkan harga jual dan cari untung serendah-rendahnya juga tidak ada menariknya untuk dunia jual beli. Ujung-ujungnya dagangnya bangkrut dan bermasalah.”
Hai Anda para pedagang! Spirit dagang itu cari cuan, kreatiflah dapatkan cuan, spirit dagang bukan belaskasihani orang, bukan menolong orang lain secara sosial, jadi jangan dipleset-plesetkan. Dagang kok kreatif belaskasihani orang, ya Anda cari modar.
Sama saja brengseknya dengan hajatan dengan spirit untuk cari cuan. Hajatan nikahan dan khitanan, itu spiritnya kehidupan sosial, prinsip gotong royong, lalu Anda hajatan untuk cari cuan dari amplop kondangan, biasanya orang hajatan dengan tujuan cari cuan berakhir banyak hutang. Amati saja!
Dagang spiritnya cari cuan, cari untung diri, cari kekayaan diri, kok diprinsipi belaskasihan pada orang, ya sama saja Anda hajatan diprinsipi cari cuan. Modar!
Tapi saya ingatkan lagi, ya? Spirit dagang memang cari untung, bukan cuma harus shidiq dan amanah, namun di luar urusan dagang Anda harus dermawan agar energinya seimbang antara mengambil dan berbagi.
كُنَّا نُسَمَّى فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – السَّمَاسِرَةَ ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ ، فَقَالَ : ” يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ! إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Artinya: “Kami pada masa Rasulullah S.A.W disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar). Rasulullah S.A.W menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo. Beliau bersabda, “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli kadang diselingi dengan senda-gurau dan sumpah-sumpah, maka perbaikilah dengan sedekah“ (H.R Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai & Ibnu Majah)
Muhammad Nurul Banan
Gus Banan