Kemiskinan itu karena tidak mampu bayar. Mau beli Pepsodent tak ada uang, jadinya tidak punya alias miskin Pepsodent kan?
Seperti sering saya sampaikan, dari awal kehidupan penyebab miskin memang karena lemahnya daya bayar seseorang.
Katanya punya cita-cita ingin rezeki lancar, lah dagang baru 3 bulan sudah berhenti dengan alasan ini itu, dia tidak kuat membayar harga cita-cita ingin rezeki lancar. Katanya ingin punya masa depan cerah, eeh disuruh sekolah malah sibuk dengan cinta dan asmara, ia tidak kuat membayarnya. Katanya punya keinginan jadi orang shaleh, eeh Tahajud 2 minggu sudah terhenti, dia tidak kuat membayar. Katanya ingin naik jabatan, eeh sering bolos kerja, dia tidak lunas membayar. Dan seterusnya.
Semua kemiskian karena lemahnya daya beli, lemahnya daya bayar, persis sama seperti keinginan Anda memiliki kekayaan berupa Pepsodent.
Lebih miskin lagi ketika harus hutang dan tidak mampu melunasi. Ini sudah kemiskinan level tinggi, karena tidak hanya kebutuhan hidupnya yang tak terbeli dan terbayar, namun malah ia ambil milik orang lain untuk mencukupinya. Jika ia tetap tidak sanggup melunasi hutangnya, ya sudah ia tidak sekedar tidak memiliki apa yang belum dia bayar, namun malahan ia harus kehilangan apa yang sudah dimiliki guna bayari energi hutang yang belum terbayar.
Jadi itulah miskinnya orang miskin itu daya bayar dan beli yang memang lemah.
Beda dengan level miskinnya orang kaya. Orang kaya itu daya beli dan bayarnya tinggi. Mau miliki mobil, dia sanggup membayarnya, mau miliki tanah, dia juga sanggup membayarnya.
Demikian pula sejak awal kehidupan daya bayar dan belinya dengan kehidupan juga tinggi. Mereka punya cita-cita apapun pantang menyerah dengan kendala dan kesulitan. Sebuah keinginan dibutuhkan disiplin waktu, mereka membayarnya lunas dengan benar-benar disiplin waktu.
Punya cita-cita menjadi orang terhormat dengan ilmu, mereka konsisten sekolah dan belajar, relakan hidup mereka menjadi kutu buku. Punya-punya cita-cita jadi pengusaha, ya benar-benar dijalani konsisten dari nol dengan kreatif, inovatif, amanah, dan terus mau belajar.
Dan ketika punya cita-cita ingin diterima taubatnya oleh Tuhan juga demikian, mereka konsisten membayarnya dengan lunas, ibarat ditugasi shalat Taubat dan istighfar tiap hari ya betul-betul dijalani dengan keteguhan konsistensi. Dengan waktu sangat menghargai, dengan amanah sangat menghargai. Orang kaya itu tinggi daya bayarnya sehingga daya belinya juga tinggi.
Lalu dimana kemiskinannya orang kaya? Begini, berada di puncak gunung yang tinggi itu susah sekali untuk merasa, mendengar dan mengetahui keadaan di bawah. Padahal apa iya ada kehidupan kongkrit di puncak gunung? Misal di puncak gunung Lawu, apa di sana ada perumahan warga? Ada sinyal handphone? Ada pasar? Tidak ada. Realita kehidupan konkrit ya di lereng gunung Lawu dan di dataran rendahnya.
Makanya orang kaya itu kerap terjebak ekpektasi tinggi akan dirinya, bahwa dirinya sangat berharga, dirinya sangat baik, dirinya tak terkalahkan, dan lainnya. Dari keadaan hati itulah dia kemudian seperti tuli dan buta untuk melihat kehidupan konkrit di bawah.
Karenanya bicaranya tinggi, punya percaya diri tinggi, karena memang hati mereka sedang berada di ketinggian, mereka merasa kuasa mengatur, kuasa mengendalikan, mengontrol dan memimpin, dan merasa berprestasi.
Nah kondisi hati ini yang kalau tidak terkontrol bisa jadikan mereka turun ke area bawah, menjadi kemiskinan, sebab sesuatu yang sudah berada di ketinggian tidak ada pilihan lain selain turun ke bawah. Kalau mereka tidak menyadari, ya alam semesta akan memaksa mereka turun. Gampangnya, situasi hati tinggi yang tidak terkontrol akan menarik mereka dalam kemiskinan nyata.
Mereka sedekah tapi dengan getaran kebanggaan diri. Mereka membantu orang tetapi dengan getaran menyombongkan diri. Mereka peduli tetapi ego tinggi mereka tampak sekali.
Sehingga kemiskinan orang kaya itu kerap karena frekuensi getaran hati yang berada dalam ketinggian, tidak mampu mendengar realita konkrit kehidupan di bawah. Di titik itu mereka sebenarnya kerap sakit hati dan kecewa sendiri sebab cuaca di puncak gunung tertinggi tidaklah kondusif untuk bisa membangun lingkungan hidup yang normal.
Mereka merasa sangat berharga tapi ternyata banyak yang membenci, mereka merasa sangat gemar bantu orang lain tapi sambutan orang atas kebaikannya malah cibiran.
Mereka pun kerap marah, kerap tersinggung, kerap merendahkan orang, dan lainnya. Jika sudah di situasi begitu itu tanda cuaca di hatinya tidak layak lagi dihuni sebagai lingkungan normal untuk hidup.
Mereka tidak mampu mendengar dan merasa, ada apa sebenarnya, kok banyak yang menentang dan menjauhinya? Ia tidak sadar kalau omongan tingginya, sedekah dan dermawannya yang karena rasa bangga, rasa berprestasinya sehingga merasa tidak layak dikontrol dan dikendalikan orang lain, itu penyebab mereka sakit hati dan kecewa sendiri.
Rasanya selalu geram dan ingin marah ketika temui sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, rasanya selalu enek dan sakit hati ketika ada sedikit saja yang menyinggung prinsip-prinsipnya, rasanya selalu gelisah hati karena dimana-mana kedudukan dan prestasinya tidak bisa jadikan ia berharga, ia persis orang buta dan tuli yang tidak dapat melihat dan mendengar penyebab kegaduhan sebenarnya. Dan itu adalah kemiskinan barunya.
Saat itu sebenarnya obatnya hanya menurunkan ketinggian hatinya, harus bangun rasa sadar kalau ia hanya setitik air mani hina (nuthfah).
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِىٍّ يُمْنَىٰ
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim).” (Q.S. Al-Qiyamah : 37)
Turunkan hatinya sehingga ia bersedia dengan rela diinjak, bersedia dengan rela direndahkan, bersedia dengan rela tidak berharga, bersedia dengan rela untuk sadar sebagai makhluk hina dari setetes air mani hina.
Anda merasa orang kaya berkedudukan lantas bersedia dengan rela dan ridha direndahkan, disitu Anda baru akan bisa merasakan ketenangan dan ketenteraman hati.
Karena itu sebaik-baik hati orang kaya berkedudukan itu adalah orang kaya yang berkata, “Mengalah itu sebaik-baik jalan keluar.”
Orang kaya susah untuk lemah, sebab itu kalau ia berprinsip mengalah pasti pemicunya bukan karena rasa lemah tapi karena ia sadar pentingnya hati berada di bawah. Hati di bawah tidak ada pilihan lain selain terangkat naik, hati di ketinggian tidak ada pilihan lain selain harus turun ke bawah.
Anda duitnya banyak? Anda kedudukannya tinggi? Anda pengaruhnya besar? Saya percaya Anda orang kaya bahagia kalau kemudian mau mengalah, bersedia dihina dan direndahkan.
Sebaliknya, Anda kaya tapi marah-marah ketika direndahkan dan dihinakan, apalagi ngamuk-ngamuk, itu tanda Anda kaya tapi ada ketidakbahagiaan.
Hai orang kaya! Sadarlah Anda orang hina tak berdaya, insya Allah hati Anda tenang.
Muhammad Nurul Banan
Gus Banan