KUOTA BELANJA KUOTA REZEKI

Kota-kota metropolitan semuanya adalah daerah-daerah padat penduduk, yang artinya konsumen rezeki di sana banyak, namun justru di kota-kota tersebut rezeki jadi banyak.

 

Jakarta, misalkan, tahu-tahu potensi bangun rumah saja di sana tidak ada jalan lain selain harus membangun di atas rumah, bangunan harus bertingkat mencakar langit saking sudah tidak ada lahan tanah, namun rezeki di sana makin melimpah dan mudah.

 

Di pedesaan, lahan tanah masih banyak yang kosong karena penduduk sedikit, tapi cari milyader di pedesaan susah, temukan pemilik mobil kelas Mitsubishi Pajero Sport juga susah. Kuota rezeki di pedesaan jauh lebih sedikit ketimbang di perkotaan.

 

Artinya syarat rezeki melimpah itu bila konsumen rezeki banyak. Karena ini setiap orang kaya pasti ia punya kekuatan mengfasilitasi orang lain menerima rezeki, dari jadi bos, juragan, kepala keluarga, pemimpin masyarakat, jadi dermawan atau jadi tukang belanja.

 

Jadi bos dan juragan jelas kerjaannya menggaji karyawan. Jadi pemimpin masyarakat kerjaannya mengurusi kesejahteraan masyarakat. Jadi kepala keluarga kerjaannya mengfasilitasi nafkah keluarga. Jadi dermawan jelas kerjaanya berbagi rezeki. Dan jadi tukang belanja kerjaannya menabur rezeki kepada para pedagang.

 

Belanja memiskinkan? Salah. Justru belanja itu mengkayakan karena belanja itu berarti mengfasilitasi orang lain peroleh rezeki. Dan rezeki itu kuotanya makin membesar bila makin banyak yang mengonsumsinya sebagaima sistem rezeki dan kota metropolis dan di pedesaan.

 

Karenanya siapapun yang dikehendaki kaya oleh-Nya pasti ia disadarkan dan dibukakan rasa kalau belanja itu asik, melepaskan uang itu kegembiraan.

 

Dan sebaliknya yang akan disempitkan rezekinya ia tidak disadarkan hal yang demikian sehingga mereka berasik ma’syuq dalam irit, efesiensi, pelit, perhitungan, dan rasa kalau pengeluaran uang itu adalah hal yang sangat menyusahkan hati mereka.

 

Goblok banget ya orang irit, pelit, efesien dan perhitungan?

Di kampung halaman saya dulu ada pengusaha kaya asal Tegal, Jawa Tengah. Setiap tahun di kampung saya, ia membuat acara kesenian besar-besaran. Ia mengundang berbagai kesenian Jawa untuk menghibur masyarakat. Waktunya bisa 9 malam nonstop.

 

Ditanyai, “Kenapa sampai 9 malam?” Ia menjawab singkat, “Kalau cuma semalam para pedagang jajanan itu dapat apa?”

 

Jadi ia sadar pentingnya mengfasilitasi rezeki bagi orang lain.

Belum lagi dermawannya yang luar biasa kepada semua kalangan masyarakat.

 

Kemarin ada direct IG masuk dari salah satu alumni kelas online saya; Servo Prosperity, kebetulan adiknya berprofesi foto model dan selebgram. Ia sampaikan begini, “Saya sedang di Bali saat ini bersama adik saya, ummm… niatnya mau refreshing dan belanja alias bagi-bagi rezeki kepada warga Bali, sekalian adik saya juga masih bisa foto untuk kerjaan. Pas sudah sampai Bali, adik saya cek kok barang yang untuk kerjaan di foto ketinggalan di Jakarta, duh padahal kan sudah janji, ‘Ya wislah paling batal nggak apa-apa nanti ada order lain,’ begitu pikir kita. Yang penting seneng-seneng dan tetep belanja supaya ekonomi Bali lumayan bergerak (walau mungkin tidak seberapa),” tuturnya.

 

Ia melanjutkan, “Dan apa yang terjadi? Perusahaan tersebut tetap lanjut dan adik saya ditungguin sampai Jakarta untuk foto dengan product yang ketinggalan tadi. Matur nuwun Gus atas ilmu “makin kaya hambur-hambur uang dengan kesadaran berbagi”. Makin sehat, bahagia dan hambur-hambur uang tanpa batas ya buat Gus Banan,” pungkasnya.

 

Jadi begitu, orang yang akan dibesarkan kuota rezekinya ia disadarkan dan hatinya dibuat merasa kalau melepaskan uang untuk belanja itu mengasikan. Ia sadar kalau belanja itu artinya mengfasilitasi rezeki bagi orang lain.

 

Nah belanja itu di hati Anda asik apa memberatkan? Kalau terasa berat dan hati Anda membantah dan tidak bisa membenarkan, itu artinya Anda belum waktunya jadi orang kaya.

 

Lah, Gus, tapi banyak orang foya-foya belanja dan hartanya amblas? Ya itu karena kesadaran belanjanya itu kesadaran hedonis, atau bisa jadi ia orang ngawur belanjakan harta alias tabdzîr.

 

Jadi kuota belanja bisa menjadi pembesar kuota rezeki itu bila Anda sadar bahwa belanja itu mengfasilitasi orang lain peroleh rezeki, ia sadar bahwa ia menjadi tangan Tuhan guna bagikan rezeki bagi orang lain.

 

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

 

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah : 265)

 

Syarat belanjakan harta yang perbesar kuota rezeki itu harus sadar mencari ridha Allah. Sadar mengfasilitasi rezeki bagi orang lain dalam belanja itu kategori cari ridha Allah, bukan?

Belanja, yuk. Jajan, yuk!

 

Muhammad Nurul Banan

Gus Banan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top