وَمَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ وَتَثْبِيْتًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍۢ بِرَبْوَةٍ اَصَابَهَا وَابِلٌ فَاٰتَتْ اُكُلَهَا ضِعْفَيْنِۚ فَاِنْ لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗوَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya untuk meraih ridha Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah : 265)
Ada 2 kesadaran yang diajarkan Al-Qur’an agar rezeki yang Anda keluarkan berbuah rezeki yang lebat;
– Kesadaran ibtighâ’a nardhâti-llâh (meraih ridha Allah)
– Kesadaran tatsbîtan min anfusihim (meneguhkan jiwa).
Satu ketika ayah saya masuk rumah sakit, tentu butuh biaya banyak, saya sendiri sedang ada kebutuhan lumayan besar, dan saya hanya pegang uang yang cukup untuk biayai ayah di rumah sakit. Begitu dengar berita tersebut saya langsung tersadar, “Orang tua saya lebih mulia dari harta saya. Maka harta saya harus digunakan untuk muliakan orang tua, bukan orang tua saya dimuliakan sewajarnya hanya demi keutuhan harta saya.” Lantas saya pilihkan kamar VVIP terbaik. Dan betul, uang saya ludes untuk biaya rumah sakit. Kebutuhan dekat saya sendiri cuma bisa digigitkan jari.
Saya kalau bertemu guru dan kyai saya selalu merogoh isi dompet terbaik. Kesadaran saya hanya, “Guru itu murabbi rûhî (pembimbing ruh saya). Harta saya harus saya sampahkan di depan guru. Bukan malahan harta saya diutuhkan dan guru tidak dimuliakan.”
Pas hari Maulid Nabi S.A.W kemarin, saat pembacaan Al-Barzanjî di masjid, saya hadir utuh dengan segenap kesadaran rasa saya untuk muliakan Nabi S.A.W. Sepulang ke rumah masih merasa rindu untuk muliakan Nabi S.A.W, saya pun ambil lembaran uang merah Soekarno Hatta, lalu saya bagikan pada para santri yang khidmah pada saya. Saya masukan amplop dan amplopnya saya tulisi ihtifâl bi maulidir rasûl (merayakan maulid rasul).
Di atas adalah contoh mengeluarkan harta dengan kesadaran ibtighâ’a mardhâti-llâh (meraih ridha Allah).
Namun sampai ke tahap kesadaran ini kerap susah, apalagi bagi Anda yang masih didominasi nafsu duniawi. Lihat cewek cantik saja masih menghayati, lihat BLT di kantor desa masih ijo matanya, lihat orang kaya masih ingin menumpang atau menjilat, istri sendiri dibentak-bentak cewek dijalanan disayang-sayang, dan seterusnya. Masuk ke wilayah kesadaran spiritual begini, Anda harus melatih diri untuk takut kepada Allah. Ya landasannya kesadaran takwa.
Jika sudah terlatih takwa, nafsu menjadi luruh dan tunduk, di saat itu kesadaran Anda akan melihat hal-hal spiritual di balik peristiwa masuk dan keluarnya uang.
Di titik kesadaran tersebut, Anda makin malas urusi uang, justru seolah Tuhan tidak lagi perkenankan Anda kekurangan uang. Ya rezeki yang Anda keluarkan untuk bayar ini dan itu, untuk nyah-nyoh sana-sini, sudah seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat.
Kok saya bilang begitu? Ya itu yang terjadi pada diri saya, di antara contoh kecilnya kasus-kasus spiritual seperti yang saya sebutkan di atas. Sebenarnya saya makin pemalas, tapi tidak tahu, tetangga kanan-kiri bilang saya makin kaya.
Belum lagi keajaiban-keajaiban rezeki yang kontan dibayarkan oleh Allah sesudah saya bertindak keluarkan duit dengan kesadaran ibtighâ’a mardhâti-llâh (meraih ridha Allah).
Pamer ya saya ini? Kalau tidak pamer ya susah mengajarkannya kepada Anda, kan?
Takwa! Takut kepada Allah! Halal dan haram dijaga sepenuhnya! Jangan maksiat melulu! Jangan suka menyakiti dan merugikan orang lain! Itu syarat sampai di wilayah rezeki ini.
Kesadaran kedua dalam membelanjakan harta agar berbuah rezeki lebat ialah kesadaran tatsbîtan min anfusihim (meneguhkan jiwa).
Saya beri contoh. Saya waktu masih miskin, keluar uang 150 ribu untuk sekali makan di restorant itu sakit hati sekali. Tapi saya sadar, tidak mungkin kalau sakit hati terus dengan 150 ribu untuk ngresto, saya budak duit dan level jajan saya tidak akan naik-naik ke level orang kaya. Ingin kaya kok jajannya masih saja level mie ayam dan roket chicken, lalu kapan saya di level orang kaya?
Sadar itu saya paksa biasakan masuk restorant mewah, namun tentu tetap melihat keseimbangan finansial saya. Di situ tindakan saya hura-hura, mewah-mewahan, tetapi kesadaran saya sedang meneguhkan jiwa yakni memberdayakan diri agar berubah nasib finansialnya.
Hasilnya? Ya benar kata Al-Qur’an, rezeki saya dari hari ke hari berbuah lebat.
Contoh lain, rumah saya masih kecil dan sederhana karena rumah sisa miskin 35 tahun. Setiap saya masuk rumah ada rasa mengeluh. Mau direnovasi masih ada hal lain yang mengganjal, intinya masih harus menunggu sesuatu yang harus sinergi.
Akhirnya saya beli bonsai yang mahal-mahal, yang angkanya menabrak kelumrahan belanja tanaman hias orang kampung. Tujuannya ketika saya masuk lingkungan rumah saya sendiri, saya bisa mengunggah rasa kaya kepada-Nya karena saksikan bonsai mahal, bukan mengunggah rasa miskin karena rumah masih kecil.
Ya keluarga saya komentari, “Hallah. Baru saja kaya sudah wah-wahan, sok-sokan!” Saya cuma membatin, “Wah-wahan matamu! Ndasmu!”
Ya saya membatin kasar begitu karena sepenuhnya saya sadar kalau saya sedang belanjakan harta untuk tatsbîtan min anfusihim yakni untuk memberdayakan diri.
Dan yang komentar saya wah-wahan di atas, sekarang cuma bisa cengar-cengir muka pucat, hati tersayat saksikan rezeki saya dari hari ke hari makin moncer.
Contoh lain lagi, karena biasa bergaul dengan dunia pemberdayaan diri, saya biasa amalkan ilmu-ilmu mental pemberdayaan finansial, seperti mobil pakai Pertamax Turbo, tabung gas malas warna hijau, baju, sandal dan aksesoris badan latihan dinaikan level brandnya, belanja harian, jajan makanan, semuanya saya naik-naikan level angkanya agar servo prosperity-nya naik. Tapi itu, kesadaran saya bukan wah-wahan, bukan hedon, bukan gaya-gayaan, murni karena ingin memberdayakan diri, meneguhkan jiwa saya.
Dan memang, prakteknya saya wah-wahan dan boros, hasilnya rezeki makin lebat turunnya.
Contoh lagi, saya capek disorot orang terpuruk oleh tetangga, karena ada hukum gaung di alam semesta ini. Kalau saya gaungkan keterpurukan, lalu tetangga menyangka saya orang terpuruk, respons gaungnya juga saya akan makin terpuruk, karena hakikatnya gaung tetangga adalah doa. Akhirnya, di garasi mobil saya—yang kebetulan garasi saya,terbuka—selalu saya pasang 2 mobil bertengger.
Kelakuan begitu ya pamer, ya sombong, ya congkak, tapi kesadaran saya betul-betul ingin mengubah gaung persangkaan tetangga, hasilnya rezeki makin oke, makin malas saya kerja, alam semesta merespons rezeki saya tidak boleh kekurangan.
Nah kesadaran level tatsbîtan min anfusihim (meneguhkan jiwa) ini bisa Anda peroleh dengan Anda terus aktif belajar ilmu-ilmu pemberdayaan rezeki, seperti ikuti tulisan dan channel Youtube saya dan guru-guru yang lain. Dan Anda juga terus bergaul dengan orang-orang positif yang memberdayakan diri, sehingga kesadaran Anda terus bertumbuh.
Jika Anda terus beetumbuh dengan kesadaran memberdayakan diri, semua rezeki yang masuk dan keluar dalam diri Anda akan disetir oleh kesadaran tatsbîtan min anfusihim (meneguhkan jiwa), di situ rezeki Anda akan mengalir seperti kebun buah-buahan di dataran tinggi yang disiram air hujan.
Cuma asunya itu dengan ilmu-ilmu pemberdayaan diri membantah, minteri, tidak mau tekun belajar, ya sudah lah Anda jadi asu saja.
Memang di level kesadaran tatsbîtan min anfusihim (meneguhkan jiwa), ya kadang masih kerap maksiat, tapi jalan terus saja amalkan kesadaran tatsbîtan min anfusihim (meneguhkan jiwa) ini, nanti bertambahnya waktu, rezeki Anda yang diberkahi karena Anda memberdayakan diri tersebut akan menuntun Anda memiliki rasa sadar takut kepada Allah.
Muhammad Nurul Banan
Gus Banan
Spiritual Prosperity Word
Servo Prosperity Online Class