Anda perhatikan dulu baretan pada moncong mobil saya. Ceritanya begini.
Saya itu orangnya “nyah-nyoh” dengan harta. Dari kain, baju, sarung, rokok, makanan hingga uang, saya biasa “nyah-nyoh”.
Saya paham, “nyah-nyoh” dengan dilatarbelakangi rasa kaya itu akan menarik kekayaan. Dan itu semua terbukti, istri pun mengakui, karena kenyataan duit meningkat terus dari waktu ke waktu, dan saya termasuk suami yang sudah tidak pernah dengar istri mengeluh bingung duit.
Nah dalam bulan ini, istri saya sedang muncul rasa miskinnya, sehingga di hatinya dongkol menyaksikan saya “nyah-nyoh”. Apalagi bulan ini yang namanya masuk restoran traktir tamu hampir tiap hari. Istri saya ketar-ketir juga.
Saat melihat saya “nyah-nyoh”, hati istri saya awalnya jelas rasa itung duit ples rasa “eman-eman”. Semua rasa itu memunculkan rasa kurang.
Di sisi lain, istri saya tentu orang yang paling dekat dengan saya, mentalnya tentu terbentuk oleh saya, istri saya sadar sepenuhnya apa itu rasa kaya.
Jadi saat-saat itu istri saya ragu-ragu antara kaya dan miskin. Dia ragu-ragu sebagai orang kaya yang sanggup “nyah-nyoh” atau orang miskin yang segala urusan duit itu berhitung dengan rasa terbatas. Dia ragu.
Anda kalau sedang masukan zakar Anda ke vagina istri tapi istri ragu-ragu, mungkin karena merasa vaginanya masih kering atau lainnya, amati saja si istri akan kesakitan, minimal rasakan nyeri vagina, itu karena keraguannya. Segala keraguan tidak bisa peroleh hasil maksimal.
Nah melihat “nyah-nyoh-nya” saya di bulan ini yang frekuensinya meningkat, istri ragu-ragu antara miskin dan kaya, ia tidak bisa total hadir sebagai orang kaya.
Saya tahu keadaan mental istri, tapi saya diam saja.
Dan ternyata mental istri bukannya membaik, tapi malahan menular ke saya. Saya juga jadi punya mental itung dan ragu-ragu.
Malam harinya saya terbangun sekitar jam 3 pagi, minum teh dan merokok. Di malam itu saya melihat perang dahsyat di hati istri saya, perang antara rasa kaya versus rasa miskin. Artinya malam itu saya diberi sinyal oleh alam semesta kalau getaran kemiskinan istri saya sudah menguat.
Paginya saya masih diam saja, karena saya pun tertular, mulai terperosok khilaf.
Pada akhirnya sore harinya, jelang Maghrib, salah satu sopir saya sedang memasukan mobil Daihatsu Xenia ke garasi. Dan prek, menyerempet Honda HRV Prestige merah. Lalu sopir melapor.
Saya tandang mengecek kondisi mobil, lumayan dalam goresannya. Tidak lama kemudian istri juga mengeceknya.
Karena tertabrak azan Maghrib, kami tidak sempat mengobrol, istri harus segera berangkat ngajar ke pesantren. Sementara saya di rumah saja karena di jam Maghrib saya tidak punya jadwal ngaji.
Nah sepanjang istri ngajar di pesantren, hatinya jalan-jalan terus, bertanta-tanya, “Ada apa, ya? Kok tiba-tiba terima musibah?”
Usai Isya, istri pulang ke rumah. Begitu bertemu saya langsung tanya, “Ada apa ya, Yah?”
Dan kami pun terlibat pembicaraan dengan apa yang sudah saya tuliskan di atas. Yang jelas, rasa miskin, rasa terbatas yang menguat dari istri, itu yang kemudian mengundang musibah mobil tergores.
Lalu istri juga mengungkapkan, di minggu ini dia merasa uangnya cepat sekali habis, padahal rezeki sedang naik, belanja sesuatu yang bernilai mahal juga tidak. Duit istri seperti hilang ditelan angin, tidak tahu kemana. Dirunut untuk belanja apa saja sehingga uang habis juga tidak ketemu, karena setahu istri semua biaya finansial berjalan biasa-biasa saja.
Ya memang saya kerap traktir tamu ke restoran, tapi itu pengeluaran biasa saja, sekali makan capai jutaan juga tidak, paling-paling ratusan ribu.
Karena terpancing istri yang keluhkan duit sedang cepat habis, saya iseng cek saldo rekening di e-banking handphone, karena saya juga merasa aktifitas transfer lumayan kerap.
Begitu saya lihat saldo, saya tertegun, lalu spontan saya ngomong sama istri, “Bunda, kok bisa saldonya banyak begini? Padahal Ayah lumayan kerap transfer keluar.”
Di situ kami berdua jadi tertegun, betapa rasa hati yang kaya itu berpengaruh akurat pada realita rezeki.
Saya tidak begitu lama terpengaruh oleh rasa miskin istri, dan masih tetap dominan rasa kayanya, alhasil transferan rekening banyak, tapi entah jalan bagaimana, saldonya tetap banyak dan meningkat. Otak memperkirakan saldo terkuras banyak, tapi meleset.
Sebaliknya istri, merasa pengeluaran biasa-biasa saja, tapi uang raib. Itu karena istri terlalu lama diendapi rasa miskin dan rasa terbatas menyaksikan saya “nyah-nyoh”.
Jadi pantas kalau Ibn Qayyim Al-Jawziyah menyampaikan,
مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ : هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْـقَضِـى
“Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) Kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) Kerugian yang tidak pernah berhenti.”
Ya rasa miskin itu rasa cinta melekat. Karena rasa miskin itu hakikatnya rasa kurang. Setiap cinta akan munculkan rasa kurang. Anda bertemu pacar satu hari rasanya kurang, itu karena Anda menyintainya. Kenapa Anda selalu merasa kurang duit? Itu karena Anda menyintainya.
Karena itu lepas dari kecintaan pada duit itu munculnya rasa kaya, rasa berlimpah di hati.
Anda kerap alami fenomena seperti istri saya, kan? Uang digunakan sepertinya biasa-biasa saja tapi terasa raib begitu saja, tidak jelas digunakan untuk apa? Itu sebenarnya rezeki yang disabotase rasa miskin dari hati Anda.
Dan kalau tidak jera juga dengan rasa miskinnya, selanjutnya akan panggil musibah kerugian. Ya menyintai dunia dengan melekat hanya akan hadirkan kerugian yang tidak pernah berhenti.
يَا ابْنَ آدَمَ ! تَـفَـرَّغْ لِـعِـبَـادَتِـيْ أَمْـلَأْ صَدْرَكَ غِـنًـى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ ، وَإِنْ لَـمْ تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا وَلَـمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
“Wahai anak Adam! Luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.“ (H.R. Ahmad)
Muhammad Nurul Banan
Gus Banan