Kehidupan dunia itu karakternya serba salah. Miskin direndahkan dan dihina, rasanya pegel. Lalu usaha untuk berubah, eeh disepelekan dan dipandang sebelah mata. Anda dianggap orang remeh yang tidak mungkin sukses. Setelah sukses, banyak yang sakit hati dan tidak rela dengan perolehan Anda. Yang selevel suksesnya menjadi kompetitor, yang level suksesnya di bawah Anda mencoba jatuhkan Anda dengan iri dengkinya, yang level suksesnya di atas Anda masih saja menyepelekan.
Sakit hati dan pegel itu realita kehidupan dunia. Anda mengurusi dunia isinya capek dan rintangan berlapis, bertemu resiko berat, Anda mencoba hanya konsisten kepada Allah seperti dinasehatkan di dalam tasawuf, ya punya konsekuensi sama, yang muncul ujian-ujian meresahkan yang juga resiko berat.
Anda menjomblo punya banyak masalah, Anda menikah juga punya masalah berat. Anda kaya dinyinyiri sombong dan bangga, Anda miskin dinyinyiri katanya tak mau usaha.
Jangankan kehidupan reel seperti di atas, bikin konten media sosial saja begitu, isinya sakit hati melulu. Konten sepi, sakit hati tidak laku, konten viral, sakit hati dicaci maki netizen, konten biasa-biasa saja, sakit hati merasa tidak puas.
Anda makan mengundang penyakit, puasa pun mengundang penyakit. Kurang air putih jadikan dehidrasi dan ginjal, minum air putih full, pipisnya seperti kran tak ditutup.
Anda pelit, uangnya mengamuk-amuk memaksa jebol, Anda dermawan eeh setelah konsisten dermawan, ujian-ujian hebat datang untuk menguji Anda ridha atau tidak dalam berbuat derma.
Anda sedang sedikit ada kelonggaran hidup, lantas nafsunya melunjak-lunjak, bangga, dengki, rakus, merendahkan orang, selanjutnya lupa diri. Setelah lupa diri, hidupnya sempit kembali. Dalam keadaan sempit hidup, Anda ingat diri, kontrol diri lebih baik, tapi hati sumpek dan penuh resah tekanan.
Anda berinteraksi sosial aktif jadi punya banyak masalah karena kebanyakan berurusan dengan orang lain, Anda membatasi pergaulan katanya sombong dan eklusif.
Anda hidup hanya bersenang-senang, hura-hura dan happy, jadinya tidak punya kemuliaan, masa depan rusak. Anda terlalu prihatin membangun masa depan, jadi mudah stres dan cepat menua karena terlalu serius. Mau dibikin biasa-biasa saja, tidak terlalu serius dan tidak terlalu senang, hasilnya di masa depan juga biasa-biasa saja.
Sumpek. Mumet. Stres. Sakit hati. Itulah isi dunia. Saya kerap menggunakan kata hikmah milik Ibn Athaillah dalam kitab Al-Hikam,
لَاتَسْتَغْرِبْ وُقُوْعَ اْلأَكْدَارِ مَادُمْتَ فِى هَذِهِ الدَّارِ. فَإِنَّهَا مَاأَبْرَزَتْ إِلَّا مَاهُوَ مُسْتَحِقٌّ وَصْفِهَا وَوَاجِبُ نَعْتِهَا
“Selama engkau berada di dunia ini janganlah terkejut dengan adanya kekeruhan. Sesungguhnya kekeruhan muncul hanyalah karena memang menjadi sifat pantasnya dunia dan karakter aslinya.”
Ya tempat kekeruhan itulah keaslian karakter kehidupan dunia, makanya serba menyakitkan, menjengkelkan dan bikin geram hati.
Kenapa sedemikian menyakitlan? Karena alam dunia ini adalah alam proses. Anda mau berjalan di sisi manapun di dalam kehidupan dunia ini ketemunya resiko masalah dari karakter keruhnya dunia. Sana-sini bertemu masalah, sana-sini bikin kesal.
Dan mau berdarah-darah sehebat apapun yang namanya alam dunia ya hanya proses. Dijalani dari arah manapun finish-nya cuma satu, yaitu mati.
Di alam kematian barulah segala kekeruhan berhenti. Sesudah mati, Anda tak terkoneksi interaksi lagi dengan alam dunia, disitu Anda baru berhenti tidak menjadi masalah bagi dunia dan tidak bermasalah lagi dengan dunia.
Paling Anda tinggal dikenang di hari pertama kematian, pelayat masih ada, suasana juga masih suasana duka. Lalu Anda dikenang lagi di hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, dan hari ke-1000 dengan tahlilan seadanya, itu saja hanya di sebagian adat masyarakat. Sesudah itu secara bertahap seiring berjalannya waktu Anda dilupakan dunia.
Hanya segelintir nama manusia yang tetap dikenang oleh dunia yakni mereka yang punya nama besar, selebihnya—dan malah kebanyakan—dilupakan begitu saja oleh dunia. Paling yang masih ingat kuat cuma generasi cucu, sampai generasi buyut (keturunan ke-4), sudah banyak yang lupa nama Anda.
Bukankah begitu menyakitkan? Anda berdarah-darah hadapi kehidupan dunia ini, tidak tahunya cuma mau dikenang selimit itu.
Di saat mati itulah finish, Anda mau juara atau pecundang, itulah finish-nya. Di saat mati itulah dunia baru bisa menilai Anda.
Para nabi sebegitu perih dan pilu hadapi menyebalkannya dunia, melebihi perih pilunya Anda, tetapi finish mereka seperti yang Anda kenang saat ini. Sebaliknya Qarun, finishnya juga seperti yang Anda kenang saat ini. Sebab itu tetaplah dalam kebaikan walau sepahit apapun karena finish mati itu bukan pilihan tetapi keharusan.
Karena dunia itu tempatnya kekeruhan, Anda yang hatinya sedang ingat dunia itu tandanya Anda garang, dendam, benci, ambisius, bangga, kecil hati, tega, jahat, rakus, marah, dan seabrek hati buruk lainnya sebab hati Anda disakiti terus menerus oleh dunia.
Dunia itu isinya manusia, ingat dunia itu artinya ingat manusia.
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَوْنٍ: «ذِكْرُ النَّاسِ دَاءٌ، وَذِكْرُ اللهِ دَوَاءٌ»
“Abdullah bin ‘Aun berkata, “Ingat manusia itu penyakit. Ingat Allah itu obat.”
Ingat manusia itu penyakit, ingat Allah itu obatnya. Lalu Allah itu siapa? Allah itu mati. Anda kan berasal dari Allah, lalu saat Anda mati itu Anda pulang kepada Allah, simbolnya innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Sehingga ingat Allah itu salah satunya dengan ingat mati.
Saya menuliskan ini karena kemarin membaca postingan singkat Mas Arif Rahutomo dimana beliau dengan istri kalau sedang saling memendam enek hati, sedang ada sengketa rumah tangga, lantas beliau dan istri, sadar untuk ingat mati. Beliau membangun kesadaran, “Lah kami tidak tahu, mungkin esok bangun tidur saya mati karena tidak ada yang tahu kapan mati akan datang. Kalau saya masih geram-geraman dengan istri, lantas saya mati dan belum sempat minta maaf, lah betapa menyedihkan? Pagi siang malam hanya didampingi istri, mati kok dalam keadaan bermusuhan?” Dengan ingat mati begitu, lantas hati Mas Arif reda, dan kembali sadar untuk berkasih sayang.
Coba andai hanya ingat kelakuan istrinya yakni ingat manusia, ya makin benci, makin marah, makin jengkel dan lainnya.
Karena itu sebenarnya tampak jelas sekali orang yang ingat Allah dan yang tidak, yang ingat mati dan yang tidak. Tandanya lihat ekspresi respons mereka terhadap peristiwa dunia. Kalau ngotot dan habis-habisan, penuh totalitas hadapi sumpeknya dunia, ya begitu itu tanda orang ingatnya pada manusia.
Sedang benci seseorang, habis-habisan menyerang dan mempropaganda. Sedang bersaing habis-habisan berusaha mengalahkan dan menjatuhkan. Sedang punya hutang adem-adem saja tidak komitmen melunasi, padahal kalau esok dia mati, bagaimana dengan hutangnya? Sedang butuh gaya hidup dibela-belain cicil mobil sampai 7 tahun, cicil rumah sampai 30 tahun.
Sedang bingung penghasilan, dibela-belain jual kehormatan diri dengan mengemis-emis. Sedang marah dibela-belain menggunjing dan ghibah sawudelnya sendiri. Sedang haus harta dibela-belain menyakiti dan menzalimi orang, rakus dan menindas orang. Sedang iri dan dengki, saudara sendiri yang begitu menghormati ditelikung begitu saja agar tersingkir. Dan seterusnya.
Pokoknya kelakuan mereka yang ingatnya kepada manusia, mereka jadi lupa segala-galanya. Yang diingat manusia ya ketemunya dendam, marah, benci, tega, dan lainnya.
Mari kita ingat mati. Sejenak lupakan musuhmu, sejenak lupakan ambisimu, sejenak lupakan pencapaianmu, sejenak lupakan pengganggu hatimu, dan ingatlah mati. Ingat manusia itu menyakitkan.
Obatnya ingat mati. Dan ingat mati itulah ingat Allah yang sebenarnya.
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا
“Dan ingatlah mati sebagai nasehat.” (H.R. Baihaqi)
Muhammad Nurul Banan
Gus Banan